Senin, 29 Desember 2008

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan uji materiil pasal 214 UU tentang Pemilu.

Jika sebelumnya penetapan caleg terpilih didasarkan pada nomor urut, sekarang berganti menjadi berdasarkan suara terbanyak.

Menurut kebanyakan orang, ini merupakan keputusan yang fair bagi rakyat. Caleg yang terpilih adalah mereka yang paling diinginkan oleh mayoritas rakyat. Putusan ini juga semakin memantapkan sistem proporsional terbuka yang kita anut.

Hal itu juga diamini oleh Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary. "Ini lebih mendekati aspirasi masyarakat sehingga tidak harus nomor 1 (yang terpilih)," ujarnya saat ditemui di Kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Rabu (24/12/2008).

Namun putusan ini juga mengandung berbagai persoalan yang patut menjadi perhatian. Pertama, terkait penentuan pengalihan suara untuk surat suara yang tidak ditandai di nama atau nomor calegnya, tapi di lambang parpolnya.

Berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan KPU sendiri, pemilih cenderung menandai parpol, bukan nama caleg. Itu artinya, sangat mungkin banyak suara yang masuknya ke parpol. Lantas suara itu akan dialihkan ke siapa? Ke nomor urut kecil atau ke peraih suara terbanyak?

Untuk konsistensi tentu saja harus diberikan ke suara terbanyak. "Saya kira kalau konsisten ya diberikan ke suara terbanyak," ujar anggota KPU Syamsulbahri.

Tapi dalam hal terjadi kasus ekstrem di mana dalam satu dapil tidak ada caleg yang mendapat suara karena semua pemilih menandai lambang parpol, lantas bagaimana menentukan suara dialihkan ke siapa? Atau jika parpol memperoleh 3 kursi, tapi hanya 1 atau 2 caleg yang mendapatkan suara, lantas bagaimana menentukan kursi ketiga diberikan ke siapa?

"Itu bisa jadi. Tapi kemungkinannya saya kira sangat kecil. Masa dari ratusan ribu suara nggak ada yang ke caleg? Tapi itu akan jadi masukan kita," ujar Syamsul.

Belum lagi jika terjadi perolehan suara yang sama. Meski kemungkinannya sangat kecil, tapi itu tidak mustahil.

"Itu belum kita bicarakan. Tapi memang harus ada jalan keluar. Kalau penentuan calon terpilih Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kan berdasarkan tingkat sebaran suaranya. Saya tidak katakan itu keputusan KPU, tapi itu suatu kemungkinan," ujar Hafiz.

Persoalan turunannya adalah bagaimana menentukan mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) anggota legislatif terpilih? Apakah konsisten menggunakan suara terbanyak?

"Itu diatur di UU Susduk. Tapi semestinya UU Susduk harus sejalan dengan UU Pemilu menggunakan suara terbanyak," ucap Hafiz.

Kedua, soal affirmative action bagi perempuan. UU Pemilu didesain untuk memberi kesempatan lebih kepada caleg perempuan dengan mewajibkan adanya minimal 1 caleg perempuan untuk setiap 3 caleg (pasal 55). Jadi di nomor urut 1, 2, dan 3 untuk tiap dapil, minimal salah satunya harus caleg perempuan. Harapannya supaya tingkat keterpilihan caleg perempuan bisa tinggi.

Namun dengan ketentuan suara terbanyak, maksud affirmative action itu jadi tidak tercapai. Sebab di nomor berapa pun caleg perempuan dipasang, tetap saja yang akan menentukan keterpilihan dia adalah berapa jumlah suara yang bisa dia raup. Dan untuk itu dia harus bersaing secara langsung dengan caleg laki-laki. Maksud
semula untuk memberi 'diskriminasi positif' kepada perempuan jadi nihil. "Pasal 55 secara otomatis jadi nggak berarti," ujar Syamsul.

Ketiga, putusan KPU itu juga berpotensi menjadi bumerang bagi MK. Karena calon terpilih ditetapkan dengan suara terbanyak, peluang terjadinya sengketa hasil jadi makin tinggi.

Ribuan caleg untuk DPR, DPRD I, dan DPRD II di seluruh dapil di Indonesia sangat mungkin akan menggugat hasil perhitungan suara, terutama jika selisihnya hanya tipis. Sebab selisih itu akan menentukan peluang mereka menduduki kursi empuk legislatif.

Jika itu terjadi, maka MK harus siap-siap menerima sekian banyak pengajuan gugatan, mulai dari tingkat kab/kota hingga pusat. Selain itu, konflik yang terjadi juga akan cenderung bersifat internal parpol, yakni antarcaleg dalam satu parpol.

Namun tampaknya KPU beranggapan sebaliknya. Karena penetapan caleg terpilih didasarkan pada suara terbanyak, justru makin mudah bagi KPU menentukan siapa yang terpilih. "Kalau saya menduga (peluangnya sengketa) malah mengecil," ucap Hafiz.

Beberapa persoalan di atas mungkin hanya sebagian dari kerumitan yang berpeluang muncul sebagai akibat dari putusan MK. KPU selaku penyelenggara pemilu mengaku tengah menggodok peraturan KPU tentang Penetapan Caleg Terpilih. Artinya, lontaran-lontaran KPU di atas masih sebatas pendapat, belum diputuskan dalam rapat pleno. "Kita masih akan plenokan peraturannya," ujar Hafiz.

Sumber : Detik.com